Blogger templates

BThemes

Rabu, 12 Desember 2012

Putra Sang Fajar Muncul di Ufuk Timur

Putra Sang Fajar Muncul di Ufuk Timur

Pembaca yang budiman, apa yang terpapar di dalam blog ini adalah murni merupakan hasil input spiritual atau bisa dikatakan sasmita, yang kemudian dicocokkan dengan beberapa wasiat leluhur berkenaan. Untuk diketahui bahwa sebagai pijakan dasar dalam menayangkan blog ini adalah input spiritual yang turun berupa QS Asy Syua’raa’ : 5 – 9 yang berbunyi : “Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Tuhan Yang Maha Pemurah, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. Sungguh mereka telah mendustakan (Al Qur’an), maka kelak akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokan. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”

Dan juga QS An Nuur : 46 – 47 yang berbunyi : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”

Singkat kata, masih ingatkah para pembaca budiman ketika kami mengumumkan informasi tentang “cahaya putih” yang terlihat di atas Alas Ketonggo pada tanggal 7 Juli 2007 yang lalu yang bergerak menuju ke arah timur dan berdiam di suatu tempat di timur? Sebenarnya fenomena spiritual tersebut dibarengi dengan turunnya QS Al Israa’ : 41 – 46 sebagai penjelasannya, yang menyatakan : “Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Katakanlah: “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai Arasy.” Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. Dan apabila kamu membaca Al Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.”

Dalam fenomena ini secara khusus arti dan maksud “cahaya putih” itu dijelaskan melalui QS Al Hajj : 40 – 41 yang berbunyi : “ (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
(Masya Allah la quwata ila billah..!!! Ayat ini menyiratkan gambaran tentang ”seseorang” yang tersembunyi itu).

Mengapa pula pada waktu yang lalu yaitu tanggal 11 dan 12 Juli 2007 kami memberitahukan di dalam blog ini kepada para winasis dan waskita di negeri ini untuk bisa berkumpul di Bali pada hari Jum’at tanggal 13 Juli 2007 untuk bersama-sama membuktikan kebenarannya. Dalam fenomena ini, secara hakekat Alas Ketonggo sebenarnya adalah Pulau Dewata (Bali). Dan ”cahaya putih” di timur itu ternyata berada di Sad Kahyangan Jagad sisi timur yaitu di Pura Lempuyang Luhur (lambangnya Sang Hyang Iswara, melambangkan keputusan dan kebijaksanaan). Berkaitan dengan fenomena ini turunlah ayat yang menjelaskannya berupa QS An Nuur : 51 – 52 yang berbunyi : “Sesungguhnya perkataan orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya supaya diputuskan perkara di antara mereka* ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (*: Maksudnya: Di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin)

Input spiritual lain yang menyertainya adalah input untuk menyelenggarakan suatu upacara ritual di sebuah Pura di Bali arah Selatan – Barat Daya pada bulan Agustus 2007 mendatang. Moment ini akan menandai kemunculan ”seseorang” itu dan sebagai forum pesaksian/pembuktian atas kebenarannya sebelum ”seseorang” itu mengemban amanah-amanah-Nya bagi kemaslahatan rakyat negeri ini.

Pada kesempatan ini sebagai penutup dapatlah kami ungkapkan pasemon (sanepan) berupa syair dari Sabdo Palon tentang Jangka Jayabaya (melalui input spiritual terkini), sebagai berikut :

“Semut ireng ngendog jroning geni,
(“Semut hitam bertelur di dalam api,)
Ono Merak memitran lan Baya,
(Ada Merak berteman dengan Buaya,)
Keyong sak kenong matane,
(Keong sebesar talempong matanya,)
Tikuse padha ngidhung,
(Tikusnya pada bernyanyi,)
Kucing gering ingkang nunggoni,
(Kucing kurus yang menunggui,)
Kodok nawu segara oleh Banteng sewu,
(Kodok menjaring di danau mendapatkan seribu Banteng,)
Precil-precil kang anjaga,
(Anakan katak yang menjaga,)
Semut ngangrang angrangsang Gunung Merapi,
(Semut Rangrang merangsang Gunung Merapi,)
Wit Ranti (meranti) woh Delima.”
(Pohon Meranti berbuah Delima.”)

Bebarengan dengan turunnya pasemon berupa syair ini, turun pula ayat-ayat yang menjelaskannya, yaitu :

QS Ali Imran : 140 – 141 : “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.”

Dan juga QS Ar Ra’d : 42 : “Dan sungguh orang-orang kafir yang sebelum mereka (kafir Mekah) telah mengadakan tipu daya, tetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri, dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik) itu.”

Serta QS Al Bayyinah : 5 : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Kebenaran hanyalah milik Allah SWT, sedangkan bila ada kesalahan itu semua datangnya dari diri saya. Namun semuanya sudah sangat jelas. Apa arti dari semua itu ? Jawabannya : TELAH TIBA SAATNYA…!!! Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya. Atas ijin dan ridho-Nya, semoga seluruh mahluk di atas bumi dan di langit berbahagia penuh kedamaian. Amin.

Terimakasih sudah membaca Putra Sang Fajar Muncul di Ufuk Timur. semoga bermanfaat

Misteri Sumpah Pamalayu Krtanagara hingga Sumpah Palapa Gajah Mada

Misteri Sumpah Pamalayu Krtanagara hingga Sumpah Palapa Gajah Mada


Mbah S. Sukaris

Begawan sekaligus pujangga Majapahit: Rakryan Vadia Andika, masih mengingat suasana "Pamalayu" Sri Krtanagara, demikian pula tatkala itu penduduk seantero Jawadwipa mendengar belaka semua itu. Sang begawan baru menginjak duabelas tahun. Dengung Pamalayu menggentarkan segenap pelosok Nusa Antara. Krtanagara tidak mengirimkan utusan diplomat kerajaan Singhasari ke luar Jawa, akan tetapi langsung mengirimkan prajurit laut berpendaran dan menjadi ancaman serius di Laut Jawa dan Selat Malaka.
      Prajurit dari Jawadwipa yang tengah beraksi itu mencoba mengulangi sukses era Sri Jayabaya dalam mempersatukan Nusa Antara kembali. Hasilnya memang tidak segemilang sebelumnya tapi lumayan sukses. Cuma wilayah barat dapat bernaung di bawah Singhasari.
      Penyatuan segenap Nusa Antara yang berarti tunduk pada kekuatan dari Jawa selalu menjadi impian para raja Jawa sejak wangsa Syailendra dari seberang barat pulau Jawa berhasil dan ikut campur dalam memerintah Mataram Hindu di Jawa bagian tengah. 
      Dalam upaya mempersatukan wilayah maka, "Mendahului menyerang lebih baik daripada diserang lebih dulu", merupakan kutukan yang mulai tumbuh sejak Erlangga menikmati atau merasai derita, "betapa tidak enaknya diserbu musuh" (Sriwijaya), tatkala itu Erlangga sedang mengikuti jamuan pesta kerajaan Medang yang diselenggarakan oleh prabu Darmawangsa.
      Baginda Darmawangsa waktu menyerbu Sriwijaya itu belum ikut mengalami "kutukan" itu maka ia gagal menaklukkan Sriwijaya, dan selanjutnya yang disebut belakangan ini mengadakan pembalasan terhadap paman Erlangga tersebut, drama pesta kerajaan yang berubah jadi petaka itu berakhir dengan tewasnya sang paman atau Prabu Darmawangsa.
      Sejak peristiwa dramatis itu dan bertahun kemudian Erlangga berhasil melanjutkan wangsa Isyana dan bertakhta di Kahuripan maka, "Jawa akan selalu memenangkan pertempuran terhadap luar Jawa, jika balatentara Jawa menyerang lebih dahulu ke luar Jawa", merupakan kutukan abadi bagi negeri, penguasa serta pemimpin yang berusaha maupun dapat mempersatukan Nusa Antara.
      Sang begawan Majapahit yang hidup semasa Krtanagara hingga saat ini, empat tahun sejak wafatnya Prabu Hayam Wuruk itu terdiam, sejenak memandang pendengarnya yang setia, Dewi Anggia.
      Satu-satunya putri begawan pujangga Majapahit itu Dewi Anggia kemudian bertanya, "Ayahanda bagaimana dengan "Palapa" Sang Gajah Mada?"
      "Sejak Erlangga membangun terusan Porong Sidoarjo dan menata ulang sepanjang aliran Sungai Brantas dalam upaya membangun infrastruktur militer bagi kapal perang  dari wilayah pedalaman. Dan sejak kapal perang Majapahit tidak lagi membutuhkan sarana itu karena telah membangun pangkalan militernya di pesisiran, maka "Palapa" itu pun menunai sukses besar."
      "Juga berkat kutukan itu masih berlaku, ayahanda?" tetak Dewi Anggia.
      Ra Vadia mengangguk.
      "Mengapa para raja penerus baginda Erlangga sebelum era Majapahit masih memusatkan kekuatan di pedalaman, ayahanda?" Dewi Anggia merasa peluang bertanya diberikan baginya.
      "Erlangga mewariskan ketakutannya yang pernah mengalami serbuan Sriwijaya, Ananda," sahut sang begawan.
      "Sriwijaya masih terlalu kuat militernya masa itu," Begawan melanjutkan, "Sri Krtanagara yang berada di luar jalur Sungai Brantas yang melalui Kediri-Porong itu juga sudah memusatkan angkatan lautnya di pesisiran Laut Jawa. Majapahit memang telah belajar dari sukses "Pamalayu" akhirnya sekadar meneruskan hal yang sama "memusatkan kekuatan laut di pesisiran Jawa".
    Sang begawan mengawasi pintu yang menganga lebar, sejak tadi kicauan prenjak terus-menerus menerobos ruangan itu. Suasana ruangan kerja begawan Ra Vadia cukup terang dari keempat penjuru ruangan yang berjendela itu terbuka semuanya.
    "Jayakatwang yang masih menguasai jalur Kediri-Porong itu sudah terlalu miskin membangun kekuatan militernya. Dan justru jalur Sungai Brantas warisan Erlangga itu yang pada akhirnya membawa pasukan Tartar membawa kebinasaan bagi kerajaan Kediri." Sejenak sang begawan mengguritkan sesuatu di rontal. Suasana berubah hening. Sang putri sedang membuat perhiasan anak-anak terbuat dari untaian sejenis jagung-jagungan. Seperti biasanya selesai memasak pagi itu, Dewi Anggia mengurus pakaian atau yang lainnya. Jika kebun di belakang rumah panen, maka kesempatan bersama ayahandanya itu dipergunakan membersihkan hasil panen.
     "Ayahanda, bagaimana dengan sumpah Sri Jayabaya mempersatukan Nusa Antara?" tanya Dewi Anggia, suaranya memecah keheningan yang sedang ditingkahi penggurit rontal dan ronce-ronce sang putri begawan itu.
     Begawan Vadia meletakkan penggurit dan meneguk air kendi.
      "Jayabaya yang semasa remaja sudah berkelana ke pedalaman hingga ke Pulau Bali dan tempat lainnya tidak perlu bersumpah apapun dalam upayanya mempersatukan wilayah Nusa Antara, dia hanya mempergunakan hati dan nalurinya sebagai satria-brahmana, pewaris terbaik wangsa Isyana Empu Sindok-Erlangga."
      Suasana kembali sunyi sang putri begawan rupanya sudah pulas.
      Begawan pujangga Ra Vadia melanjutkan kisah itu dalam kepalanya, "Jayabaya dan Hayam Wuruk-Gajah Mada telah tiada, bagaimana nasib Nusa Antara?
      Sebagaimana galibnya sejarah yang selalu terulang kembali maka Nusa Antara akan tercerai-berai kembali tanpa hadirnyaa sosok tangguh yang mampu berkiprah dalam suatu kerajaan besar dan perkasa. Demikian selanjutnya dengan hadirnya sosok yang tangguh berjiwa satria-Brahmana itu, maka Nusa Antara yang tercerai-berai itu akan mempersatukan dirinya kembali.
Misteri Sumpah Pamalayu Krtanagara hingga Sumpah Palapa Gajah Mada

Misteri cinta segitiga Prabarini, Mpu Sedah, dan Sri Aji Jayabaya

Misteri cinta segitiga Prabarini, Mpu Sedah, dan Sri Aji Jayabaya

Mbah S. Sukaris

Begawan Vadia pujangga masyhur semasa Hayam Wuruk itu kembali berkisah mengenai peristiwa duaratus limapuluh tahun yang silam.
      "Ananda Dewi Anggia, Prabu Jayabaya memang pernah mengadakan sayembara menerjemahkan kitab Mahabharata. Barangsiapa yang terpilih kelak maka apapun permintaannya akan dikabulkan oleh raja."
      Sang Begawan dapat membaca air muka Dewi Anggia yang sedang mengijak usia dua dasawarsa itu tertarik pada kisah cinta.
      "Dimulai oleh putri Erlangga, Dewi Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci, selanjutnya Prabarini, Dedes, dan terakhir Dewi Amisani itulah kisah dramatis mengenai putri di wilayah seputar kerajaan Kediri. Sang Baginda Jayabaya sendiri lahir dari sepasang orang tua yang legenda cinta mereka dikenang terus berabad-abad, perkawinan kerajaan itu pun akhirnya gilang-gemilang menyatukan kerajaan Kediri." Begawan Vadia menghentikan kalimatnya, sejenak mengawasi putrinya.
      Dewi Anggia tidak menyiakan peluang itu, dan ia menyela, "Ayahanda, ananda pertama memilih mendengarkan kisah Prabarini di antara kisah lainnya."
      Begawan Vadia sejenak mengumpulkan dayanya. Ia masih berdiam diri mengumpulkan segenap kekuatannya, dan tanpa sadar mengguritkan sesuatu di atas daun rontal.
      "Tepat sekali, Ananda. Kisah cinta Prabarini memang terjadi semasa Prabu Jayabaya memerintah kerajaan di tepi sungai Brantas itu. Jadi ayahanda akan melanjutkan kisah sayembara menerjemahkan Kitab Mahabharata yang diadakan oleh Jayabaya."
      Area pertanian yang subur yang lahannya datar dan rata di tepi sungai Brantas antara kaki gunung Kelud dan sisi timur sungai Brantas membentang mulai dari pusat kotaraja sepanjang seminggu perjalanan gerobak sapi ke arah utara. Sebuah dusun sehari perjalanan dari pusat kotaraja Kediri terdapat sebuah candi Growong, di antara para brahmani yang mengurus sebuah perguruan Syiwa dan candi Syiwa itu paling dikenal ialah Prabarini dan Empu Sedah. Dua remaja itu sudah menamatkan pendidikannya di perguruan Gawang yang berada di lingkungan Growong. Sebagai teman seperguruan, maka Prabarini mendorong agar Empu Sedah mengikuti sayembara yang tengah diadakan oleh istana Kediri.
      "Kanda ikutlah sayembara itu," kata Prabarini. Sedah menatap Prabarini yang sosoknya seolah bersinar berlomba dengan kecantikan seorang brahmani yang selalu tertutup oleh pakaian rapat itu.
      "Kanda tidak tertarik dengan urusan duniawi apalagi guna mencapai kemasyhuran semacam itu, Prabarini," sahut Sedah yang tetap kukuh bersikap layaknya kaum Brahmana.
Sementara itu ratu anggabaya istana Kediri mulai khawatir dengan nasib sayembara raja. Ia memutuskan mengirimkan telik sandi ke segenap penjuru wilayah Kediri, terutama ke perguruan-perguruan Syiwa, Wisynu, dan Buddha ternama masa itu.
      Sebulan kemudian berbagai laporan masuk ke istana Anggabaya, istana panglima pasukan darat Kediri, "Di dusun Gawang dekat candi Growong, Yang Mulia Anggabaya, sepasang merpati yang selalu terbang bersama-sama memiliki kemampuan yang berlebih."
      Ratu Anggabaya menghadap prabu Jayabaya. Seharian itu keduanya menikmati hiburan istana, para penari terbaik didatangkan untuk menghibur raja yang duduk tidak seperti biasanya berjauhan. Kali ini keduanya berdampingan mengepung hidangan yang melimpah itu, di pendopo dalam istana diiringi dan dilatari para penari dan penabuh gamelan. Tak ada petinggi kerajaan diundang dalam acara istimewa itu.
      Prabu Jayabaya lebih banyak bicara dan berkali-kali menatap anggabaya yang berusaha berbicara lirih di tengah suara gamelan yang mengisi setiap sudut pendopo itu.
      Sejak peristiwa itu Anggabaya Kediri terus mengurung diri dalam istananya. Demikian pula Prabu Jayabaya tetap memberi kesempatan pada peserta lomba untuk menghadap raja secara langsung, tak pernah ada penolakan bagi siapaun jika ingin mengikuti sayembara itu. Satu bulan, dua bulan, dan bulan-bulan telah berlalu. Hingga pada suatu hari sepasukan berkuda mendadak berbaris ke utara, tepat ke sasaran dusun Growong.
      "Atas titah junjungan kita Baginda Prabu, kami diutus membawa dengan penghormatan bersama kami satu orang wakil perguruan Gawang. Sang Mahaprabu membutuhkan seorang gadis brahmani untuk menjadi juri pengganti istana untuk menilai setiap peserta lomba yang diadakan raja," kata kepala pasukan itu kepada pimpinan perguruan Gawang, dia tidak lain daripada Begawan Ganesyaraja. Ayahanda Prabarini itu sebentar menelengkan kepalanya. Ia terheran-heran mengapa baginda membutuhkan seorang perawan untuk menilai peserta sayembara istana.
      "Yang Mulia,...." Begawan itu ragu sejenak mengutarakan sesuatu. Kepala pasukan itu tetap bersabar menghadapi cendekiawan itu. Ratu Anggabaya telah mewanti-wantinya agar tidak menggunakan kekerasan. Kesabaran akan membuahkan hasil dalam menghadapi lawan yang intelek semacam begawan Ganesyaraja.
     "Yang Mulia Begawan keberatan untuk memilih salah seorang siswa Gawang?" tetap kepala pasukan itu.
      Sikap prajurit itu sejenak mengendorkan perasaan sang begawan, "Kami ingin mengajukan syarat, Yang Mulia, apakah itu bisa langsung diputuskan sendiri oleh Yang Mulia atau menunggu kebijakan istana?"
      "Silakah Yang Mulia mengajukan syarat apapun itu."
      "Baiklah. Kami sebagai ayahanda Prabarini akan mendampinginya di istana Kediri selama bertugas menilai peserta lomba raja," suara mantap terdengar keluar daru mulut begawan itu.
      "Tentu saja, Yang Mulia begawan. Silakan mengunjungi istana dan menghadap sang Prabu langsung tanpa halangan."
      Hari itu juga ayah dan anak itu diiringi pasukan berkuda menuju istana Kediri.
      Sepeninggal Prabarini kini seorang diri Sedah mengurus candi Growong, ia mulai merasa ada sesuatu yang kosong. Ia teringat saran Prabarini tempo hari agar dirinya ikut menjadi peserta sayembara. Apalagi sekarang ini jurinya adalah Prabarini, seorang yang mengenalnya paling baik selama di perguruan Gawang ini.
      "Baginda, tampaknya sudah hampir satu purnama berlalu sejak Prabarini memasuki istana. Umpan itu belum lagi disentuh...." Suatu pagi Anggabaya menghadap Baginda Prabu Jayabaya di ruangan sidang istana.
      Prabu Jayabaya mengucapkan sesuatu dekat telinga Anggabaya. "Yang Mulia.....," pekik Ratu Anggabaya. Ia tidak berani menanyakan lebih lanjut rencana junjungannya itu. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Yang Mulia serius atau itu bagian dari strategi perang," terlontar juga isi hati Anggabaya Kediri.
      Baginda tidak menyahut, ia pun memberi isyarat agar menteri itu mengundurkan diri.
      Beberapa hari persiapan terdengar wara-wara, "Baginda akan mengangkat Prabarini menjadi permaisyuri Kediri......" Sedah tersentak, setengah tidak mempercayai wara-wara itu.
      Maka pada akhirnya Sedah pun memutuskan untuk menjadi salah satu peserta sayembara menerjemahkan Mahabharata, ia menyewa gerobak sapi untuk mengantarnya menuju kotaraja. Sebelum berangkat Sedah telah menyerahkan kepengurusan candi Growong kepada panitia yang dibentuk mendadak oleh Sedah.
      Setiba di istana Kediri tanpa membuang waktu Sedah segera mengajukan diri mengikuti sayembara dan setelah diterima ia langsung menerima soal ujian.
      "Yang Mulia Juri, ini terjemahan kami atas soal yang dimajukan." Sedah mendekati juri untuk menyerahkan lembar jawaban soal ujian, dalam pada itu tidak mau menatap wajah Prabarini secara terang-terangan.
      "Terimakasih, Mpu....." Prabarini tersenyum sekilas, dan mulai mempelajari hasil ujian lebar jawaban di atas rontal itu. Tangannya sedikit menggetar mengetahui apa yang tertulis di sana.
      Sedah yang sedang menunggu hasil ujian tetap berada di ruangan itu. Ia terhenyak tatkala Prabarini menghampirinya kembali begitu cepat.
      Rontal berisi jawaban berupa hasil terjemahan dalam Jawa kuno beberapa bait Mahabharata itu diserahkan kembali kepada Sedah.
      "Silakan Mpu.... menerjemahkan ini ke dalam Sansakrta," dan Prabarini mengulurkan rontal itu berikut lebaran kosong yang baru.

****
"Ayahanda, mengapa Sedah tidak menayakan perihal wara-wara Prabarini akan menjadi Paramesywari Kediri?" selesai menyiapkan sarapan bagi ayahanda begawan Vadia pagi itu Dewi Anggia mulai menunggu kisah Prabarini selanjutnya.
      Begawan pujangga Majapahit itu tidak segera menyahut, ia membersihkan tangannya dengan air kobokan yang tersedia di dekatnya.
      "Kelihaian telik sandi kerajaan Kediri merupakan kunci kejayaan dalam menyatukan wilayah di luar Jawa. Untuk soal semacam itu, rupanya para telik sandi kerajaan telah mengatur semuanya, dan hasilnya Prabarini sama sekali tidak tahu sedikit pun mengenai wara-wara itu. Sedah tidak mengetahui hal itu, dan tidak sempat mengonfirmasikan hal itu dengan Prabarini.
      Ratu Anggabaya menerima Prabarini di istana Anggabaya Kediri.
      "Yang Mulia, Mpu Sedah itu kami anggap sebagai calon terbaik untuk tugas menerjemahkan Mahabharata ke dalam Jawa Kuno." Prabarini melapor secara rutin hasil penjuriannya sekali untuk beberapa hari. Kali ini laporannya dianggap sangat istimewa oleh Anggabaya.
      "Mpu Sedah itu berasal dari mana, Prabarini?" tanya Anggabaya.
      "Ia mengaku dari seberang sungai Brantas, Yang Mulia."
      "Tidak apa-apa, kalau begitu," sang Anggabaya terkejut mendengar itu, rupannya Sedah menyembunyikan dirinya, entah dengan maksud apa.
      Anggabaya bergegas menghadap Prabu Jayabaya yang akan berkenan mengumumkan sendiri pemenang sayembara yang tengah diadakan oleh kerajaan Kediri.
      Sedah pun dipanggil menghadap Baginda, setelah keputusan sidang kerajaan memutuskan dirinya adalah sang pemenang.
      "Mpu Sedah, sesuai janji kami sendiri, maka kelak setelah tugas menerjemahkan itu selesai, sang empu boleh mengajukan permintaan apapun sebagai hadiahnya," setelah mengumumkan itu sang raja mengundurkan diri memasuki ruangan dalam istana.
      Selama Sedah berkutat dengan rontal dan kitab Mahabharata, selama itu pula Prabarini yang berstatus seorang brahamani pengurus candi Growong masih dibebani tugas barunya, apa saja. Jayabaya telah memprediksi keduanya, Sedah dan Prabarini akan jatuh cinta satu sama lain. Istana menyadari tanpa Prabarini berada di istana maka Sedah bisa saja sewaktu-waktu dan dengan alasan segala macam akan mengundurkan diri.
      Tampak laporan telik sandi dari gerak-gerik sehari-hari, mereka berusaha saling bercakap sebagai sesama alumni perguruan Gawang.
      Tampak juga bahwa belum pernah sekalipun tersirat dalah hati Sedah untuk mengingkari dirinya sebagai Brahmana, Brahmana yang mengajar di perguruan Gawang dan mengurus candi Growong yang tidak boleh jatuh cinta.

****
Begawan Vadia memutuskan menghentikan cerita itu dari pendengar setianya putrinya sendiri, Dewi Anggia, karena selanjutnya kisah itu masih merupakan misteri.
      Dalam hati sang begawan pujangga itu rupanya masih berusaha meneruskan kisah Jayabaya, Mpu Sedah, dan Prabarini, kali ini kisah itu hanya untuk dirinya sendiri.
      "Keduanya setelah bertahun-tahun berada di istana Kediri, yang satu karena memenuhi tugas penuh ambisius seorang raja, dan yang lainnya menjadi tawanan istana yang tidak pernah menyadiri keadaan dirinya. Hingga pada akhirnya bersemilah cinta di balik tabir di antara Sedah dan Prabarini. Seiring perjalanan waktu yang semakin membesar cinta mereka secara pelahan dan tanpa dapat dihalangi keduanya melepaskan jubah masing-masing sebagai brahmana dan seorang brahmani."
      Hukuman raja pun akhirnya dijatuhkan kepada Sedah yang tidak mampu lagi melanjutkan kerjanya, dan juga karena ia sebagai brahmana suci telah jatuh cinta pada seorang brahmani. Demikian pula hukuman kepada Prabarini mengiringi terhadap Sedah, Prabarini pun telah dianggap melanggar sumpahnya sebagai seorang brahmani. Maka terhentilah untuk sementara penggarapan Mahabharata untuk beberapa waktu lamanya sampai ditemukannya seorang empu baru yang sekelas Sedah.

Kitab Musarar Jayabaya (jawa)



    Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Ratu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya,
    Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra,
    Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara,
    Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Jayabayane, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan, Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana,
    Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana.
    Wus lenggah atata sami, Nuli wau angandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “Heh Sang Prabu Jayabaya, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar.
    Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara.
    Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Jayabaya, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga.
    Benjing pinernahken nenggih, Sang-a Prabu Jayabaya, Aneng sajroning tekene, Ing guru Sang-a Pandita, Tinilar aneng Kakbah, Imam Supingi kang nggadhuh, Kinarya nginggahken kutbah.
    Ecis wesi Udharati, Ing tembe ana Molana, Pan cucu Rasul jatine, Alunga mring Tanah Jawa, Nggawa ecis punika, Kinarya dhuwung puniku, Dadi pundhen bekel Jawa.
    Raja Pandita apamit, Musna saking palenggahan, Tan antara ing lamine, Pan wus jangkep ing sewulan, Kondure Sang Pandita, Kocapa wau Sang Prabu, Animbali ingkang putra.
    Tan adangu nulya prapti, Apan ta lajeng binekta, Mring kang rama ing lampahe, Minggah dhateng ardi Padhang, Kang putra lan keng rama, Sakpraptanira ing gunung, Minggah samdyaning arga.
    Wonten ta ajar satunggil, Anama Ajar Subrata, Pan arsa methuk lampahe, Mring Sang Prabu Jayabaya, Ratu kang namur lampah, Tur titis Bathara Wisnu, Njalma Prabu Jayabaya
    Dadya Sang Jayabaya ji, Waspada reh samar-samar, Kinawruhan sadurunge, Lakune jagad karana, Tindake raja-raja, Saturute laku putus, Kalawan gaib sasmita.
    Yen Islama kadi nabi, Ri Sang aji Jayabaya, Cangkrameng ardi wus suwe, Apanggih lawan ki Ajar, Ajar ing gunung Padhang, Awindon tapane guntur, Dadi barang kang cinipta.
    Gupuh methuk ngacarahi, Wus tata dennya alenggah, Ajar angundang endhange, Siji nyunggi kang rampadan, Isine warna-warna, Sapta wara kang sesuguh, Kawolu lawan ni endang.
    Juwadah kehe satakir, Lan bawang putih satalam, Kembang melathi saconthong, Kalawan getih sapitrah, Lawan kunir sarimpang, Lawan kajar sawit iku, Kang saconthong kembang mojar.
    Kawolu endang sawiji, Ki Ajar pan atur sembah, “Punika sugataningong, Katura dhateng paduka,” Sang Prabu Jayabaya, Awas denira andulu, Sedhet anarik curiga.
    Ginoco ki Ajar mati, Endhange tinuweg pejah, Dhuwung sinarungken age, Cantrike sami lumajar, Ajrih dateng sang nata, Sang Rajaputra gegetun, Mulat solahe kang rama.
    Arsa matur putra ajrih, Lajeng kondur sekaliyan, Sapraptanira kedhaton, Pinarak lan ingkang putra, Sumiwi muriggweng ngarsa, Angandika Sang-a Prabu, Jayabaya mring kang putra.
    Heh putraningsun ta kaki, Sira wruh solahing Ayea, lya kang mati dening ngong, Adosa mring guruningwang, Jeng Sultan Maolana, Ngali Samsujen ta iku, Duk maksih sami nom-noman.

Sinom :

    Pan iku uwis winejang, Mring guru Pandita Ngali, Rasane kitab Musarar, lya padha lawan mami, Nanging anggelak janji, Cupet lelakoning ratu, lya ing tanah Jawa, Ingsun pan wus den wangeni, Kari loro kaping telune ta ingwang.
    Yen wis anitis ping tiga, Nuli ana jaman maning, Liyane panggaweningwang, Apan uwus den wangeni, Mring pandita ing nguni, Tan kena gingsir ing besuk, Apan talinambangan, Dene Maolana Ngali, Jaman catur semune segara asat.
    Mapan iku ing Jenggala, Lawan iya ing Kediri, Ing Singasari Ngurawan, Patang ratu iku maksih, Bubuhan ingsun kaki, Mapan ta durung kaliru, Negarane raharja, Rahayu kang bumi-bumi, Pan wus wenang anggempur kang dora cara.
    Ing nalika satus warsa, Rusake negara kaki, Kang ratu patang negara, Nuli salin alam malih, Ingsun nora nduweni, Nora kena milu-milu, Pan ingsun wus pinisah, Lan sedulur bapa kaki, Wus ginaib prenahe panggonan ingwang.
    Ana sajroning kekarah, Ing tekene guru mami, Kang naina raja Pandita, Sultan Maolana Ngali, Samsujen iku kaki, Kawruhana ta ing mbesuk, Saturun turunira, Nuli ana jaman maning, Anderpati arane Kalawisesa.
    Apan sita linambangan, Sumilir kang naga kentir, Semune liman pepeka, Pejajaran kang negari, Hang tingkahing becik, Nagara kramane suwung, Miwah yudanegara, Nora ana anglabeti, Tanpa adil satus taun nuli sirna.
    Awit perang padha kadang, Dene pametune bumi, Wong cilik pajeke emas, Sawab ingsun den suguhi, Marang si Ajar dhingin, Kunir sarimpang ta ingsun, Nuli asalin jaman, Majapahit kang nagari, lya iku Sang-a Prabu Brawijaya.
    Jejuluke Sri Narendra, Peparab Sang Rajapati, Dewanata alam ira, Ingaranan Anderpati, Samana apan nenggih, Lamine sedasa windu, Pametuning nagara, Wedale arupa picis, Sawab ingsun den suguhi mring si Ajar.
    Juwadah satakir iya, Sima galak semu nenggih, Curiga kethul kang lambang, Sirna salin jaman maning, Tanah Gelagahwangi, Pan ing Demak kithanipun, Kono ana agama, Tetep ingkang amurwani, Ajejuluk Diyati Kalawisaya.
    Swidak gangsal taun sirna, Pan jumeneng Ratu adil, Para wali lan pandhita, Sadaya pan samya asih, Pametune wong cilik, Ingkang katur marang Ratu, Rupa picis lan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Kembang mlathi mring ki Ajar gunung Padang.
    Kaselak kampuhe bedhah, Kekesahan durung kongsi, Iku lambange dyan sirna, Nuli ana jaman maning, Kalajangga kang nami, Tanah Pajang kuthanipun, Kukume telad Demak, Tan tumurun marang siwi, Tigangdasa enem taun nuli sirna.
    Semune lambang Cangkrama, Putung ingkang watang nenggih, Wong ndesa pajege sandhang, Picis ingsun den suguhi, lya kajar sauwit, Marang si Ajar karuhun, Nuli asalin jaman, Ing Mataram kang nagari, Kalasakti Prabu Anyakrakusumo.
    Kinalulutan ing bala, Kuwat prang ratune sugih, Keringan ing nungsa Jawa, Tur iku dadi gegenti, Ajar lan para wali, Ngulama lan para nujum, Miwah para pandhita, Kagelung dadi sawiji, Ratu dibya ambeg adil paramarta.
    Sudibya apari krama, Alus sabaranging budi, Wong cilik wadale reyal, Sawab ingsun den suguhi, Arupa bawang putih, Mring ki Ajar iku mau, Jejuluke negara, Ratune ingkang miwiti, Surakalpa semune lintang sinipat.
    Nuli kembang sempol tanpa, Modin sreban lambang nenggih, Panjenengan kaping papat, Ratune ingkang mekasi, Apan dipun lambangi, Kalpa sru kanaka putung, Satus taun pan sirna, Wit mungsuh sekuthu sami, Nuti ana nakoda dhateng merdagang.
    Iya aneng tanah Jawa, Angempek tanah sethithik, Lawas-lawas tumut aprang, Unggul sasolahe nenggih, Kedhep neng tanah Jawi, Wus ngalih jamanireku, Maksih turun Mataram, Jejuluke kang negari, Nyakrawati kadhatone tanah Pajang.
    Ratu abala bacingah, Keringan ing nuswa Jawi, Kang miwiti dadi raja, Jejuluke Layon Keli, Semu satriya brangti, Iya nuli salin ratu, Jejuluke sang nata, Semune kenya musoni, Nora lawas nuli salin panjenengan.
    Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.
    Dhuwit anggris lawan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Rupa getih mung sapitrah, Nuli retu kang nagari, Ilang barkating bumi, Tatane Parentah rusuh, Wong cilik kesrakatan, Tumpa-tumpa kang bilahi, Wus pinesthi nagri tan kena tinambak.
    Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.
    Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.
    Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.
    Dene pajege wong ndesa, Akeh warninira sami, Lawan pajeg mundak-mundak, Yen panen datan maregi, Wuwuh suda ing bumi, Wong dursila saya ndarung, Akeh dadi durjana, Wong gedhe atine jail, Mundhak tahun mundhak bilaining praja.
    Kukum lan yuda nagara, Pan nora na kang nglabeti, Salin-salin kang parentah, Aretu patraping adil, Kang bener-bener kontit, Kang bandhol-bandhol pan tulus, Kang lurus-lurus rampas, Setan mindha wahyu sami, Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa.
    Ilang kawiranganingdyah, Sawab ingsun den suguhi, Mring ki Ajar Gunung Padang, Arupa endang sawiji, Samana den etangi, Jaman sewu pitung atus, Pitung puluh pan iya, Wiwit prang tan na ngaberi, Nuli ana lamate negara rengka.
    Akeh ingkang gara-gara, Udan salah mangsa prapti, Akeh lindhu lan grahana, Dalajate salin-salirt, Pepati tanpa aji, Anutug ing jaman sewu, Wolung atus ta iya, Tanah Jawa pothar pathir, Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna.
    Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, Semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,
    Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.
    Kono ana pangapura, Ajeg kukum lawan adil, Wong jilik pajege dinar, Sawab ingsun den suguhi, Iya kembang saruni, Mring ki Ajar iku mau, Ing nalika semana, Mulya jenenging narpati, Tur abagus eseme lir madu puspa.

Dandanggula :

    Langkung arja jamane narpati, Nora nana pan ingkang nanggulang, Wong desa iku wadale, Kang duwe pajeg sewu, Pan sinuda dening Narpati, Mung metu satus dinar, Mangkana winuwus, Jamanira pan pinetang, Apan sewu wolungatus anenggih, Ratune nuli sirna.
    Ilang tekan kadhatone sami, Nuli rusak iya nungsa Jawa, Nora karuwan tatane, Pra nayaka sadarum, Miwah manca negara sami, Pada sowang-sowangan, Mangkana winuwus, Mangka Allahu Tangala, Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin, Bagus maksih taruna.
    Iku mulih jenenge Narpati, Wadya punggawa sujud sadaya, Tur padha rena prentahe, Kadhatone winuwus, Ing Kediri ingkang satunggil, Kang siji tanah Ngarab, Karta jamanipun, Duk semana pan pinetang, Apan sewu lwih sangang atus anenggih, Negaranira rengka.
    Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi, Ratu Peranggi anulya prapta, Wadya tambuh wilangane, Prawirane kalangkung, Para ratu kalah ngajurit, Tan ana kang nanggulang, Tanah Jawa gempur, Wus jumeneng tanah Jawa, Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi, Tetep neng tanah Jawa.
    Enengena Sang Nateng Parenggi, Prabu ing Rum ingkang ginupita, Lagya siniwi wadyane, Kya patih munggweng ngayun, Angandika Sri Narapati, “Heh patih ingsun myarsa, Tanah Jawa iku, Ing mangke ratune sirna, lya perang klawan Ratu Parenggi, Tan ana kang nanggulang.
    Iku patih mengkata tumuli, Anggawaa ta sabalanira, Poma tundungen den age, Yen nora lunga iku, Nora ingsun lilani mulih”, Ki Patih sigra budal, Saha balanipun, Ya ta prapta Tanah Jawa, Raja Prenggi tinundhung dening ki Patih, Sirna sabalanira.
    Nuli rena manahe wong cilik, Nora ana kang budi sangsaya, Sarwa murah tetukone, Tulus ingkang tinandur, Jamanira den jujuluki, Gandrung-gandrung neng marga, Andulu wong gelung, Kekendon lukar kawratan, Keris parung dolen tukokena nuli, Campur bawur mring pasar.
    Sampun tutug kalih ewu warsi, Sunya ngegana tanpa tumingal, Ya meh tekan dalajate, Yen Kiamat puniku, Ja majuja tabatulihi, Anuli larang udan, Angin topan rawuh, Tumangkeb sabumi alam, Saking kidul wetan ingkang andatengi, Ambedol ponang arga.
    

Bait Terakhir Ramalan Jayabaya


140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati

tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal

141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti

banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya

142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu

raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur

144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong

yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah

145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara

orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara

146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe

orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman

bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing

148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci

banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci

149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale

banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya

150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi

hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu

151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe

wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri

Bait 152 sampai dengan 156 tidak ada (hilang dan rusak)

157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati

tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati

158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman

cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang

selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu

160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa

sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa

161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha

asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda

162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji

banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang

bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan

164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong

putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta

tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta

166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa

ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman

pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda

oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat

pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga

170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang

di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang

171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu

jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa

inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti

menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi


Selasa, 16 Oktober 2012

Komunikasi Yang Baik dan Benar

Sobat yang suka mencari kebaikan kali ini saya share tentang komunikasi yang baik dan benar. Mungkin sedikit percakapan ini akan menjadi pandangan yang berbeda untuk menambah pengetahuan sobat semua. Mari kita cermati dan ambil poin yang baik untuk kita lakukan. Dan tidak ada salahnya kita untuk mempraktekkannya. Langsung saja kita baca bersama. . . hehehe

ORTU dengan Pak Ustadz

Dalam kebimbangan yang amat dalam tentunya saat ingin memutuskan suatu masalah kadang butuh orang yang lebih mengerti solusi yang terbaik. Pada saat itu ada ibu yang datang kerumah ustadz untuk meminta saran tentang anaknya yang ingin melanjutkan sekolah. Berikut dialognya

“Begini ustadz … kami meminta saran tentang Ahla ini, sebaiknya ia melanjutkan sekolah ke Agama atau Umum, kami selaku orang tua yakin sekolah Umum itu jauh lebih cocok baginya sedangkan sekolah Agama itu tidak menjanjikan sama sekali”

“Kalau menurut Ahla bagaimana?”

“Ahla pengennya di sekolah Agama sebab sekolah Agama itu adalah sekolah impian Ahla dari dulu, sedangkan sekolah Umum memang bagus sih.., tapi bukan yang Ahla inginkan tadz”

Hal yang sudah wajar jika dimasyarakah bahwa seorang ustadz tentunya dapat mengarahkan untuk memberi saran yang terbaik menurut mereka namun hal itu nampaknya sangat kental sekali dilingkungan kita. Semoga saja itu menjadikan hal yang baik. Karena seorang ustadz dianggap mampu dan bijak dalam meyelesaikan masalah.


Catatan penting:

Tak ada yang salah dengan melakukan pendekatan lebih baik terhadap anak-anak kita, yakinlah dengan komunikasi yang baik tidak akan mengurangi kehormatan kita sebagai orang tua.

Orang tua seharusnya mengajak anaknya berdialog tentang hal apa yang harus anaknya lakukan, orang tua hendaknya sering bertanya tentang apa-apa yang anaknya inginkan dan dari sanalah kemudian akan terjadi saling pemahaman, saling meminta, saling memberi dan saling mendorong untuk melakukan hal terbaik.

Kita seringkali menemukan masalah seperti ini dimana orang tua sudah punya cita-cita dengan sekolah anaknya kelak, dan pada akhirnya anak merasa sekolah sebagai tekanan yang terus menerus dampak seriusnya adalah anak akan melakukan ‘pemberontakan’ dalam berbagai bentuk.

Orang tua hanya memahami bahwa anak harus menurut kemauan orang tuanya, anak-anak tidak tahu hidup dan kehidupan dan persoalan masa depan anak adalah baku urusan orang tua, padahal seorang anak adalah manusia juga, hanya saja ia masih dalam bentuk yang kecil, ia mempunyai keinginan, harapan dan juga cita-cita dalam hidupnya.

Ketika orang tua mengetahui keinginan atau cita-cita anaknya lalu kemudian ternyata cita-cita itu tidak sesuai dengan harapan orang tuanya, maka sebaiknya orang tua tidak serta merta meluapkan emosinya lalu menjustis bahwa sang anak telah melakukan kesalahan besar.

Bertanyalah kepada anak Anda tentang cita-citanya, lalu mulailah korek keterangan tentang tentang apa-apa yang telah ia lakukan untuk memulai melangkah mewujudkan cita-citanya itu, lakukanlah komunikasi sebaik mungkin agar anak Anda bias berfikir rasional dan merasa ‘nyaman’ untuk memberitahukan hal-hal yang ia inginkan. Dari sini orang tua akan dapat memberikan sebuah penilaian apakah cita-cita anaknya hanya berupa angan-angan kosong ataukah benar-benar sebuah cita-cita serius yang akan ia perjuangkan.


"Orang tua harus pandai membaca situasi dimana ia harus memberikan support, kapan ia harus memberikan saran, dan bagaimana membuat solusi yang baik dan juga mengapa harus melakukan sebuah tindakan menegakkan disiplin"

Saya yakin kita semua ingin menjadi orang tua yang baik, yaitu orang tua yang mampu memahami, membimbing dan juga menjadi teman yang baik bagi anak-anak kita. Mungkin kita pandai melakukan komunikasi yang baik dengan rekan sejawat, teman seangkatan dan juga ditengah masyarakat luas, tetapi ternyata kita ‘bermasalah’ saat berkomunikasi dengan keluarga dan anak-anak kita.

Bisa jadi kita ini dianggap sebagai tempat curhat yang baik bagi sahabat-sahabat kita yang sedang dirundung masalah tetapi kita tidak mampu mendengarkan curahan hati anak-anak kita.

Kita seringkali bisa memberikan saran dan solusi yang sangat baik terhadap permasalahan yang sedang dihadapi sahabat kita, tetapi kita tiba-tiba menjadi begitu bodoh dengan persoalan yang anak-anak kita hadapi.

 
© Copyright 2010-2011 Blog Mengenal Sejarah All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.